Buaya merupakan hewan buas yang selalu mendapatkan konotasi negatif dalam kehidupan sosial mayarakat kita. Dari ungkapan-ungkapan seperti buaya darat, laki-laki buaya dan air mata buaya, hingga peran antagonis yang harus selalu dimainkannya dalam setiap dongeng binatang yang Anda bacakan kepada anak-anak Anda sebelum tidur. Tak heran jika sebagian besar masyarakat kita selalu membenci satwa ini sebagai monster menjijikkan dan common enemy. Mulai dari anak-anak yang terbawa hingga ia dewasa, selalu memandang bahwa buaya adalah reinkarnasi dari kejahatan.
Perbedaan dengan Jenis Lainnya
Kehidupan liar Indonesia dihuni oleh tiga spesies buaya yang dilindungi oleh Undang-undang melalui PP Nomor 7 tahun 1999. Jenis pertama yaitu Senyulong atau Buaya Sapit (Tomcistoma schlegeli). Ciri khas jenis ini adalah mulutnya yang monyong meruncing dan lebih sempit. Panjang tubuh hanya mencapai 2,5 meter, dimana ukuran tubuhnya lebih kecil dan pendek dibanding jenis-jenis lainnya. Habitatnya banyak ditemukan di sungai-sungai pedalaman Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera tentunya.
Speseies kedua biasa disebut Buaya Air Tawar Papua (Crocodylus novaeguineae). Perbedaannya dengan jenis pertama adalah pada moncongnya yang lebih lebar. Ciri khas yang dimilikinya adalah terdapat empat sisik lebar yang berderet serta melintang pada tengkuknya. Selain itu ukurannya bisa mencapai empat meter dengan warna kulit yang lebih gelap. Penyebarannya hanya terdapat di perairan tawar pedalaman Papua.
Sedang jenis ketiga, yakni Buaya Muara (Crocodylus porosus). Secara umum bentuk tubuhnya menyerupai jenis kedua, dengan moncong yang lebih lebar. Perbedaan mendasar terdapat pada tengkuknya yang tidak memiliki sisik lebar serta warna kulitnya yang lebih terang. Selain itu ukuran tubuhnya adalah yang paling besar diantara jenis lainnya dengan panjang yang mampu mencapai hingga tujuh meter bahkan lebih. C. porosus tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan.
Antagonisme, Keberadaan dan Statusnya
Diantara ketiganya jenis terakhir merupakan jenis yang paling banyak dikenal, karena selain ukurannya yang paling besar, C. porosus juga menyimpan berbagai keunikan dan mitos-mitos mistis yang selalu membayanginya. Puluhan judul film mulai dari keluaran holywood, bolywood, mandarin hingga film Indonesia sudah dibintangi satwa jenis ini. Dan sekali lagi, rata-rata tokoh antagonis-lah peran dari sutradara yang harus ia mainkan.
C. porosus tersebar di banyak negara seperti Papua Nugini, Australia Utara, Kepulauan Pasifik, Brunei, Myanmar, Kamboja, Philippina, Burma, India, Srilanka, Cina, Semenanjung Malaya, hingga Indonesia. Tapi di setiap negara populasinya makin merosot tajam sejak kulitnya diburu untuk dijual dengan harga selangit. Sehingga saat ini C. porosus masuk ke dalam kategori Appendix 2 menurut CITES.
Satwa ini dapat hidup di darat, di dalam air maupun di atas pohon. Bergerak kesana-kemari dengan cara melata, baik dengan dua pasang kakinya maupun tidak sama sekali. Famili Crocodylus ini senang berpetualang dari satu habitat ke habitat lain, maka tak heran populasinya menyebar di pelosok dunia. Bahkan, dengan ‘bantuan’ manusia, mereka dapat berpindah habitat dari air ke pusat-pusat pertokoan dan mal bergengsi dalam bentuk tas, sepatu, dompet, ikat pinggang dan banyak lagi.
Pemburu yang Malas
C. porosus tergolong hewan karnivora, yakni pemakan daging. Sesuai dengan ukuran tubuhnya yang besar, buaya muara memerlukan banyak makanan. Makin besar ukuran seekor buaya muara, makin banyak pula kebutuhan makannya. Mulai dari ikan-ikanan hingga hewan mamalia seperti kancil, kambing, rusa bahkan sapi bisa masuk ke dalam perutnya.
Buaya muara berburu mangsa dengan cara yang unik, yaitu cukup dengan mengambil posisi diam bagai patung yang tak berdaya. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi kamuflase untuk memperoleh mangsanya. Biasanya mangsa akan terpedaya dan sama sekali tidak menyadari bahwa ia-lah yang justru mendekati mulut buaya. Kemudian tanpa disangka-sangka ia mampu bergerak secepat kedipan mata menyambar mangsanya.
Yang paling berbahaya dari C. porosus adalah gigitannya yang sangat kokoh, sehingga dapat meremukkan tulang dari mangsanya. Gigi-gigi C. porosus umumnya adalah gigi taring yang menyebar merata di seluruh permukaan dalam mulutnya. Sehingga dengan rahang yang sangat kuat ditunjang dengan deretan gigi yang menyerupai gergaji, maka jarang ada mangsa yang dapat lolos dari gigitannya.
Perilaku, Perkembangbiakan dan Pertumbuhan
Rata-rata di habitat aslinya, hewan reptilia penyendiri ini juga hidup secara tetitori dengan membagi-bagi daerahnya. Jika salah satu buaya melanggar batas teritorialnya maka akan terjadi penyerangan. Buaya yang tadinya hanya berdiam, bisa berubah ganas ketika mengadakan perlawanan. Hewan ini dengan cepat menjadi lincah bergerak dan selalu siap menerjang.
Perkembangbiakan C. porosus sangat sering terjadi pada musim hujan. Pada musim bertelur dibulan November sampai dengan bulan April seekor induk betina mampu menghasilkan 30-60 butir telur dan akan menetas dalam tempo tiga bulan. Suhu yang optimum bagi telur untuk menetas adalah sebesar 31,6 derajat celcius. Disaat-saat seperti ini induk betina akan berubah menjadi sangat buas. Induk betina biasanya menyimpan telur-telurnya dengan membenamkannya di tanah atau di bawah seresah daun. Dan kemudian induk tersebut menunggu dari jarak beberapa meter.
Walaupun C. porosus cukup mudah bertelur, namun tidak mudah bagi telur-telur tersebut untuk menetas. Penyebabnya selain karena faktor tanah yang tidak sesuai, perubahan suhu dan iklim, juga karena dimakan predator lain dan diburu manusia. Curah hujan yang tinggi akan mendukung kondisi C. porosus untuk dapat berkembang biak lebih cepat. Sehingga upaya-upaya untuk mempertahankan habitat buaya yang mendukung bagi siklus hidupnya mulak diperlukan.
Saat menetas, anak C. porosus hanya berukuran 20-30 cm saja. C. porosus mencapai ukuran lebih dari satu meter selama lebih kurang dua tahun. Masa dewasa dari satwa tersebut adalah setelah ia berumur lebih dari 12 tahun.
Konservasi Eks-Situ melalui Penangkaran
Meski termasuk binatang buas, buaya bisa memberi nilai tambah pada kehidupan manusia. Beberapa bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan untuk banyak kesenangan manusia. Terutama kulit bagian bawah yang bermotif unik, harganya mencapai 3 dollar per sentimeter persegi. Kulit buaya sering digunakan untuk membuat tas, ikat pinggang dan jaket eksklusif. Belum lagi bagian tubuh lainnya seperti gigi buaya yang dijadikan perhiasan ataupun tangkur buaya yang dipercaya sebagai obat tradisional. Hal inilah yang menyebabkan satwa ini sering diburu secara liar.
Salah satu solusi dalam rangka ikut mencegah maraknya perburuan buaya secara liar dan mendukung upaya konservasi eks-situ adalah dengan mengembangkan usaha penangkaran buaya. Namun perlu diingat, kata penangkaran disini bermakna penangkaran yang jujur, bertanggungjawab, legal dan mengedepankan unsur konservasi eks-situ diatas komersialitas belaka. Serta pengembangan sistem penangkaran buaya yang terintegrasi dengan industri kulit buaya sampai menghasilkan produk jadi. Detil teknis penangkaran buaya telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 93/Kpts/Dj-VI/96 tentang Petunjuk Teknis Pendendalian Pemanfaatan Buaya.
Menurut peraturan internasional, jika buaya sudah dapat dikembangbiakan dan telah mencapai generasi ketiga maka sudah boleh diperdagangkan. Namun demi terlaksananya pemanfaatan jenis sumber daya alam hayati secara berkelanjutan maka diperlukan sosialisasi peraturan dan transparansi kegiatan penangkaran agar berlangsung sesuai Undang-undang. Juga pemberian izin secara selektif dan tidak monopolis sehingga menguntungkan semua pihak.
Kita tentu tidak menginginkan kembali terjadinya pemboikotan masyarakat barat terhadap hasil indusri kulit buaya Indonesia seperti pada tahun 1996 yang lalu. Hal itu disebabkan karena mereka menilai Indonesia tidak mematuhi konvensi perdagangan hewan langka CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Akibatnya, ekspor kulit buaya Indonesia ditolak. Satu per satu penangkaran buaya di Indonesia pun tumbang. Belajar dari pengalaman pahit tersebut maka banyak sekali pembenahan yang perlu dilakukan dalam upaya pengembangan usaha pengangkaran buaya.
Sistem penangkaran buaya yang terintegrasi dengan industri kulit ditujukan untuk mengurangi maraknya produk primer kulit mentah yang diekspor, sehingga mengurangi nilai ekonomis dari kulit tersebut. Padahal jika saja kulit buaya diekspor dalam bentuk produk jadi maka akan menghasilkan devisa yang berkali-kali lipat jumlahnya. Karena sangat ironis, Indonesia yang kaya akan bahan baku sumber daya alam selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh negara lain. Hal itu tidak hanya terjadi pada kulit buaya, tetapi juga ikan hias, kayu gelondongan, atau pasir laut.
Banyak faktor yang menyebabkan para penangkar lebih suka mengekspor kulit dalam bentuk primer atau setengah jadi, bukan produk yang bernilai tambah. Misalnya, tidak dikenakannya pungutan ekspor (PE) kulit. Hal tersebut berarti PE kulit sebesar nol persen sehingga memberi peluang eksportir mengekspor kulit dalam bentuk primer atau setengah jadi. Selain itu, banyak pengusaha yang kurang mau tekun membangun penangkaran buaya yang terintegrasi dengan industri kulit.
Penangkaran Buaya dari Segi Bisnis
Penangkaran buaya merupakan bisnis yang cukup berpotensi dan memiliki banyak kelebihan dari bisnis-bisnis lainnya. Ini adalah bisnis yang aman karena relatif bebas dari gangguan pencuri. Selain itu pemasukan dalam mata uang dollar menyebabkan usaha ini relatif tidak terpengaruh dengan adanya krisis ekonomi. Buaya juga sangat tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Satu-satunya penyakit yang kerap menyerang hanyalah jamur kulit. Dan yang paling penting penangkaran buaya jika dilakukan secara legal, jujur dan bertanggungjawab maka akan ikut mendukung upaya konservasi eks-situ.
Secara ekonomis, menangkarkan buaya sangat menguntungkan. Harga jual kulit buaya sekurang-kurangnya 120 dollar AS per ekor atau sekitar Rp 1.080.000,- jika kurs dollar Rp 9.000,-. Padahal hingga panen, biaya yang dikeluarkan hanyalah berkisar antara Rp 400.000,- hingga Rp 500.000,- per ekor. Sehingga jika suatu usaha penangkaran buaya mampu menjual sebanyak 200 ekor buaya saja pertahun, maka keuntungan minimal yang diperoleh dapat mencapai sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,- per tahun.
Itu baru keuntungan dari penjualan kulitnya saja. Belum lagi pemasukan lain yang berasal dari jasa wisata bagi pengunjung penangkaran, sate buaya, daging buaya, minyak gosok, pil empedu, gigi buaya, hingga tangkur buaya yang harganya cukup mahal karena diyakini berkhasiat mengatasi masalah laki-laki. Buaya yang dapat dipanen adalah buaya yang sudah berumur lebih dari dua tahun dengan panjang tubuh lebih dari satu meter.
Banyaknya permintaan kulit buaya dari industri internasional seperti Jepang, Italia dan Perancis harus disikapi secara bijak. Meski hal tersebut adalah peluang bagi peningkatan devisa nasional, tetapi hal yang lebih penting lagi adalah semangat dan upaya konservasi eks-situ dalam setiap usaha penangkaran buaya di Indonesia.
Serbi-serbi Penangkaran Buaya
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam usaha penangkaran buaya adalah pembuatan kolam buaya, cara mengatur kondisi lingkungan, pemberian pakan, merawat anak buaya, hingga mengatur siklus. Juga bagaimana meminimalisasi kematian anak buaya sampai tingkat terendah, yaitu dua persen. Untuk itu diperlukan perawatan yang sebaik mungkin. Misalnya, diperlukan inkubator untuk anak buaya, obat-obatan, serta tempat penangkaran pun perlu dibuat dalam berbagai macam bentuk guna memisahkan buaya-buaya yang sakit atau stres.
Penangkaran buaya yang berhasil akan berdampak positif tidak saja bagi pengangkar, tetapi juga bagi masyarakat sekitar. Usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu usaha ini dapat menarik banyak wisatawan yang berdampak pada berkembangnya sektor pariwisata dan usaha-usaha jasa lainnya.
Mengembangkan usaha penangkaran buaya berbasis konservasi eks-situ, yang bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat, memang tidak mudah. Perlu kerja keras dan upaya yang serius dari semua pihak untuk mewujudkanya, termasuk kita selaku insan konservasi. Namun, setidaknya penangkaran buaya yang berbasis konservasi akan mampu mengetuk hati nurani kita, bahwa buaya adalah satwa yang perlu mendapat perhatian khusus dari kita.
Dimata penulis, tokoh antagonis dan konotasi negatif yang melekat pada buaya tidaklah benar. Karena justru buayalah sang pejuang yang telah mengorbankan kulit dan bagian tubuhnya untuk memberikan kepuasan kepada manusia. Serta, untuk menarik devisa nasional guna pembangunan di negara kita. Jadi, benarkah air mata buaya itu hanya sandiwara dan siapakah yang antagonis, buaya atau manusia?
| |||
-visit us: @Mr_ikky and Friends- |
Milan Tomic
0 komentar:
Posting Komentar