Kisah Misteri Buaya Putih Sungai Ciliwung

“Singkat cerita” Kisah ini diangkat dari kisah  Pada waktu jaman VOC  belanda dulu, banyak orang-orang belanda yang membawa dan mengangkut penduduk pribumi jajahanya di bawa ke Batavia Mereka diambil dari be-berapa daerah jajahannya di wilayah Jawa, Bali, Flores, Makasar, Maluku,  dan  Ambon,  mereka  direkrut untuk di jadikan pekerja sebagai budak/buruh termasuk kakek moyang buyut, sebut saja namanya Daeng karta malewa, panggilanya Karta (bukan nama sebenarnya) beserta beberapa ratus orang lainya di tugaskan untuk membabat hutan belantara di wilayah hutan bojong, akan di jadikan lahan pertanian dan perkebunan karet serta membangun loji, tangsi kantor VOC belanda  dan  rumah-rumah singgah orang-orang belanda,  pada saat itu ada juga beberapa pekerja atau buruh yang sakit dan ada juga yang meninggal, karena terlalu berat dan porsir bekerja, dan ada juga beberapa orang  yang membangkang atau membelot perintah mandor lalu ada yang di jebloskan kedalam penjara, ada juga yang buron,  ternyata masih ada para pekerja pribumi yang mempunyai jiwa patriot, ada yang membrontak dari cengkraman orang-orang belanda, dan ingin lepas dari orang belanda dan antek-anteknya itu, mereka termsuk pemuda bernana  Karta, dan ada beberapa teman lainya, Karta pergi lari dari camp, camp, adalah tempat penampungan para buruh-buruh budak Belanda pada saat itu,  karena sangat berat tugas dan beban pekerjaan yang diberikan oleh tuan menir belanda bersama dengan mandor dan antek-anteknya sangat berat dan melelahkan, alasan lain ada juga beberapa buruh karena tidak ingin mengikuti kegiatan ibadah kerohanian di tempat gedung perkumpulan orang-orang belanda tersebut, karena beda keyakinan, dan  sebagian ada para pekerja yang tidak kuat mengikuti peraturan tuan menir belanda yang terlalu ketat kemudian lari dari camp penampungan termasuk  Karta, dan beberapa teman lainya, mereka mengambil  jalan terpisah, lalu  mereka lari pergi ke pedalaman melewati hutan belantara serta melintasi semak-semak belukar yang sangat lebat, belum dirambah orang,  mereka berjalan menuruni tebing yang curam dan licin menyeberangi sungai ciliwung yang arusnya sangat deras pada saat itu, sampai akhirnya hanyut terbawa arus air ke tepi hulu sungai dan tidak ingat apa-apa lagi, tidak sadarkan diri,  (pingsan)  yang dia ingat mereka sepertinya masuk ke-alam lain, alam demensi lain (alam ghaib) disekitar wilayah sungai ciliwung, sepertinya menurut penglihatan mereka ada sebuah istana yang sangat megah diwilayah itu, yaitu istana lelembut didaerah itu, dalam ingatanya Karta tampaknya seperti  melihat banyak orang-orang disana yang berpakaian tidak layaknya seperti kita, mereka  berpakaian seperti orang-orang punggawa  keraton (kerajaan) jaman dulu, banyak kenangan dan kejadian yang tidak bisa diungkapkan selama disitu, yang yahu hanya Karta sendiri, begitu sadar dari siumanya tahu-tahu badanya telah nyangkut di akar pohon yang besar yang akarnya menjulur ke air, entah beberapa lama Karta tidak sadarkan diri diwilayah perkampungan lelembut tersebut, Karta sangat bersyukur karena masih selamat, setelah sadar Karta lalu merangkak-rangkak menggayuh akar pohon dan menaiki tebing cadas yang curam dan licin, dengan susah payah karta merangkak-rangkak akhirnya sampai diatas tebing cadas, mereka menengak-nengok kanan kiri kedepan  terlihat pohon-pohon yang lebat dan terkesan angker, lalu memutuskan untuk melangkah kedepan dan terus  melangkahkan kakinya  masuk ke hutan bambu, badanya penuh luka, sampai-sampai tidak terasa luka-luka yang berada di kaki tangan dan  badanya sehingga pakaiannya pun juga tercabik-sabik entah tersangkut apa, rasa lelah lapar dahaga menjadi satu dalam tubuhnya tak dirasakan, akhirnya  sampailah ke hutan bambu yang sangat lebat, ternyata di pedalaman hutan bambu ada beberapa gubuk atau beberapa rumah gubuk warga yang tinggal disitu,  dan pada akhirnya Karta ditolong dengan orang kampung di hutan bambu tersebut, salah satu tetua kampung itu bernama ki Jumantha, ki Jumantha adalah sesepuh warga hutan bambu, Karta disambut dengan baik oleh keluarga ki Jumantha, Karta mohon dengan sangat agar dirinya bisa diterima mengabdi pada keluarga aki Jumantha, setelah diterima menjadi bagian dari keluarga, akhirnya hari-hari Karta bekerja membantu ki Jumantha di areal kebun dan sawahnya di sekitar pekarangannya, ki Jumantha juga memiliki kerbau beberapa puluh pasang,  betapa senangnya hati Karta, karena sekian lama menderita menjadi pekerja paksa pada tuan  menir belanda, kini mereka telah bebas hidup tenang bersama keluarga ki Jumantha,  selang beberapa lama tinggal didaerah hutan bambu mengabdi pada ki Jumantha  lalu Karta dinikahkan dengan putrinya bernama nyi imah (bukan nama sebenarnya) setelah beberapa lama berumah tangga dengan nyi Imah akhirnya  dikaruniai dua anak kembar  yang satu yang wujudnya seperti layaknya anak bayi manusia diberi nama Bayu seta oleh kakeknya, seperti mimpinya, serta yang satu kembaranya yang wujudnya seperti anak buaya diberi nama Bayapati, wujudnya tidak seperti layaknya bayi manusia seperti kita, tapi layaknya seperti bayi  anak buaya putih, setelah genap selapan hari atau empat puluh hari nyi Imah mimpi mohon bayinya yang berujud anak buaya tersebut harap di taruh di tempatkan ( di larung )  di sungai ciliwung, dan sampai sekarang, Sukarta dan isterinya beserta keluargan  tidak tahu keberadaannya hingga sekarang, tapi jika anak kembaranya Bayuseta sakit atau nyi Imah dan Karta sedang rindu atau kangen pada bayapati lalu mendatangi sungai Ciliwung yang berada dibawah pohon beringin dimana dulu karta dan keluarganya melarungnya, untuk memanggilnya karta  mengingat-ingat wujud raganya Bayapati sambil menyebut namanya Bayapati..Bayapati..Bayapati lalu tiba-tiba nyembul kepermukaan air sungai Ciliwung, makanya mereka dan keluarganya yakin Bayapati masih hidup hingga sekarang, beberapa tahun silam orang-orang yang tinggal disekitar pinggiran sungai Ciliwung telah gencar membicarakan, dan sering melihat buaya putih disungai Ciliwung, ada yang bilang pernah melihat buaya putih, malah ada yang mengatakan buaya jadi-jadian, banyak isu-isu mistis disepanjang sungai Ciliwung, masih berkelanjutan perihal keluarga sukarta, setelah Dewasa Bayuseta lalu menikah dengan gadis pilihanya yang bernama nyi manitih dan menikah dikaruniai satu anak semata wayang atau anak tunggal diberi nama oleh Karta bernama Gonda (bukan nama sebenarnya) disaat remaja gonda sangat keras sifatnya, Gonda sangat anti dengan orang-orang belanda yang bercokol di bojong, Gonda sering membuat onar pernah memukuli sinyo-sinyo anak tuan menir belanda yang melintas, keberangasan   Gonda semakin menjadi-jadi ketika Tuan Demang beserta anak buahnya sedang menagih uang sewa lapak-lapak di pasar dukuh bojong dengan paksa atau kekerasan di sertahi pemukulan, lalu Gonda datang melawanya dan balik memukuli orang-orang suruhan Tuan Demang, Akhirnya Gonda menjadi bhek  dan melindungi pedagang-pedagang kecil di lapak-lapak pasar dukuh bojong, Banyak orang-orang kulit putih yang bermata sipit datang dan  dagang di pasar bojong, sebelum dagang pagi-pagi orang-orang Cina ini karena datang dari jauh malamnya singgah dulu di penginapan barak-barak di dukuh Bojong, Cerita lebih detail dan lengkapnya kami ulas dibawah ini,
 Kami hanya ingin bahwa sejarah keluarga ini agar supaya tidak dilupakan oleh anak, cucu, cicit, semua keturunanya, biarlah semua ini menjadi saksi sejarah keluarga, adat dan tradisi kakek buyut yang tidak bisa dihilangkan sampai sekarang, di setiap ada hajatan perkawinan maupun khitanan atau selamatan lain anak cucu semua keturunanya selalu membuang sesaji di sungai Ciliwung, dan nyekar (ziarah) di pesarean (makam) kakek buyut bayuseta (bukan nama sebenarnya,) yang berada di atas sungai Ciliwung keberadaanya, tahun 1985 setelah kami menikah dengan putri cicit keturunanya banyak kejadian-kejadian aneh dalam keluarga kami, nanti akan kami paparkan semuanya pada pembaca, dalam  kisah cerita misteri selanjutnya, sebelumnya kami mohon maaf kepada pembaca, nama dan tempat serta alur cerita sengaja kami samarkan. Atas permintaan keluarga,
TANGSI BELANDA DAN CAMP PENAMPUNGAN PARA PEKERJA PAKSA :
            “Awal kisah cerita”  Suasana hari itu langit terang benderang,  matahari pagi  mulai muncul dari ufuk timur, sementara di tangsi penjagaan yang  letaknya di ujung  deretan barak-barak camp  penampungan terdengar bunyi bel yang kencang dan keras terdengar di telinga “kloooonneeeng… kloooonneeeng… kloooonneeeng… mandor kepercayaan tuan belanda yang membunyikan bel tersebut, pertanda mandor-mandor mulai mengumpulkan para pekerja-pekerja itu di barak-barak camp, tidak lama kemudian Sukarta bersama pekerja-pekerja lainya lari bergegas menuju barisan di depan halaman tangsi belanda, sementara beberapa mandor telah menunggu disana ada yang  membawa buku absen, ada yang membawa senjata laras panjang,sementara terlihat didalam tangsi ada  beberapa orang petinggi belanda sedang berkumpul berunding untuk pemetaan wilayah atas kepemilikan tanah dan lahan. Diluar halaman tangsi  beberapa ratus orang telah berdiri di sana termasuk Sukarta dan  mereka orang-orang pekerja pribumi dari berbagai daerah diantaranya dari Jawa, Bali, Nusa tenggara timur, Makasar,Maluku, dan Pulau rote, mereka semua telah dibagi dua belas kelompok barisan, setelah satu persatu di absen lalu diberikan bekal makanan setelah itu tuan belanda memerintahkan kepada mandor untuk berangkat menuju hutan yang telah di patok oleh mandor  diantaranya ada beberapa hektar,  pekerja-pekerja itu lalu ditugaskan masing-masing sesuai printahnya ada yang  membabat semak-semak belukar dan menebang kayu serta ada yang mencangkul, untuk dijadikan lahan perkebunan karet, ada be-berapa tuan belanda dan mandor yang selalu mengawasi para pekerja-pekerja itu, hingga sore hari, ada beberapa  para pekerja yang kondisinya kurang sehat  karena  kelelahan, ada yang sakit dan  meninggal, yang fisiknya kuat tetap melanjutkan pekerjaan hingga sore hari, setelah sore hari  matahari sudah mulai tenggelam sinarnya yang kekuningan mulai redup diufuk barat, para pekerja lalu dikumpulkan oleh mandornya di kelompok masing-masing lalu pulang menuju ke camp barak masing-masing, begitulah rutinitas hari-hari  pekerjaan mereka. Setiap hari minggu pagi  tuan belanda selalu memerintahkan semua mandor-mandornya untuk mengumpulkan para pekerja-pekerja itu untuk mrngikuti ibadah agama yang mereka anut, digedung khusus semacam tempat peribadatan,
 Sukarta daeng malewa lahir di makasar, panggilanya karta, mereka masih keturunan suku bogis  buton mereka pemuda yang keras dan berani,  dia selalu membelot dalam ketidak adilan dan penindasan tidak pernah mau mengikuti pertemuan atau perkumpulan di tempat peribadatan orang-orang belanda tersebut, hati kecilnya selalu berontak, berapa kali keinginanya untuk lari dari camp selalu ada dibenaknya,  Suatu hari di saat hari minggu pagi orang-orang pekerja-pekerja itu sedang berkumpul di tempat peribadatan bersama tuan-tuan menir belanda dan mandor-mandornya dengan secara diam-diam sukarta menyelinap di semak-semak lari dari camp penampunghan menuju hutan belantara melewati semak-semak belukar yang sangat lebat karta sengaja  tidak melewati jalan yang biasa dia laluhi karena takut ketahuan mandor-mandor belanda itu, sebenarnya karta tidak sendirian, sebelumnya ada juga para pekerja yang  melarikan diri dari camp entah kemana pelarianya,  karta lari menuju hutan yang sangat lebat melewati semak-semak belukar yang tidak pernah dilaluhi atau dilewat orang,mereka melewati pinggiran tebing sungai  yang sangat curam lalu turun melewati cadas yang licin berlumut, Karta tekatnya sudah bulat tidak akan pernah kembali ke camp penampungan, apapun yang terjadi dia tidak perdulikan, setelah lama di pinggir sungai tersebut karta berfikir sejenak bagaimana caranya menyeberang kesungai yang arusnya sangat deras dan sangat dalam, sementara karta tidak membawa alat apa-apa untuk menebang pohon atau bambu lalu karta duduk bersila di atas cadas pinggir sungai tersebut sambil memejamkan matanya, mata bhatinya ber-ucap “ wahai penunggu dan penguasa yang mbaureksa  sungai Ciliwung berilah kami jalan menuju seberang ke hulu sungai, setelah meminta ijin penunggu sungai Ciliwung kemudian Karta turun mencebur ke sungai “byuuuur, sambil berenang karena arusnya sangat deras sekali sampai akhirnya Karta hanyut terbawa arus, banyak pusaran-pusaran air seakan-akan menyedot badan Karta ke bawah air  membuat Karta glagaban tidak bisa nafas, pengelihatanya semakin gelap  badanya  berputar-putar  terseret pusaran air  Karta tidak ingat apa-apa perasaan karta merapat ke tembok dinding,  semacam  tembok istana  keraton yang sangat tinggi dia melihat keatas dinding hampir tidak terlihat tepi ujung atasnya  dan banyak orang-orang berpakaian seperti orang-orang kerajaan pada  jaman kuno dulu, sementara di pintu regol dua penjaga dengan membawa tombak dan tameng, sorot matanya tajam melihat  kearah Karta, karta ketakutan badanya gemeteran lemas, Karta tidak boleh masuk ke dalam istana keraton  tersebut,  dengan bahasanya yang   tidak dimengerti oleh Karta  sambil  di halang-halangi kedua  penjaga tersebut, dua tombak penjaga yang di silangkan di depanya, andaikan Karta masuk ke-istana tersebut saat itu entah apa yang terjadi  atau mungkin  karta telah meninggal, dan hilang menjadi pengikut mahqluk istana lelembut,  untungnya Karta tidak boleh masuk ke istanatersebut, Karta diusir dari tembok istana, tidak lama kemudian karta sadar dari pingsanya, setelah sadar karta membuka matanya tiba-tiba kaget badan karta sudah nyangkut di akar pohon beringin yang besar, yang akarnya menjulur ke air sungai   tersebut di seberang hulu sungai, di amat-amati akar  dan pohon  tersebut  “kenapa  aku ada disini  gumamnya,  dengan heranya secara kasap mata memang sebuah akar dan pohon tapi ternyata disitu ada alam lain  alam lelembut ada semacam istana keraton mungkin itu istana keraton jin atau siluman mungkin juga dedemit penghuni sungai  sambil keheranan, lalu karta susah payah  merangkak-rangkak keatas cadas menggayuh-gayuh akar pohon beringin itu lalu memanjat ke bibir sungai, sampai akhirnya karta sampai diatas cadas bibir sungai, sambil jalan terseok-seok karta mengingat-ingat kejadian tadi, “apakah tadi aku mimpi, pikiranya semakin bingung, dengan kejadian tadi, karta badanya penuh luka dan bajunya robek-robek, mungkin karena kesangkut akar-akar itu, akhirnya  karta menuju ke bukit hutan bambu berjalan terseok-seok kelelahan dan perutnya kelaparan karena dari pagi sampai siang  belum ke-isi makanan,  karta masuk ke pedalaman hutan bambu yang sangat lebat, angin semilir menghempas pepohonan dan daun-daun bambu terdengar suara “ wheeeeesss.. breeeesss..krassaaak kriiieeeeet.. kriiieeeeet…suara gesekan pohon bambu diterpa angin serasa mengiringi perjalanan karta, tanpa ada arah tujuan karta berjalan terus, sampailah disitu ada gubuk-gubuk yang atapnya terbuat dari ilalang kering, biliknya terbuat dari anyaman pohon bambu hitam  yang dibelah-belah tipis, tiangnya disangga oleh batang  kayu dan bambu kering, kira-kira ada lima rumah disitu, karta lalu mendekati gubuk tersebut sambil badanya kelelahan, ternyata di gubuk itu ada penghuninya seorang bapak-bapak tua yang menyambut kedatangannya, keadaan karta dengan sikapnya yang mememelas dan rasa hormat “ pak permisi… kami mohon numpang berteduh dan minta air untuk sekedar membasahi tenggorokan kami yang kering,  bapak itu dengan rasa iba kepada karta “ oh.. iyaa… iyaa silahkan masuk nak.. ? gubuk bapak seperti ini keadaannya ?  “ trima kasih pak ? jawab karta dengan sangat senang, akhirnya karta di persilahkan masuk dan duduk di dipan bambu, bale depan, lalu karta menyalami dan  memperkenalkan diri “ kenalkan saya sukarta, pak ? kami asalnya dari makasar,” kenalkan bapak  namanya Jumantha, orang kampung sini menyebutnya ki  Jumantha, konon  orang tua  dan kakeknya  (jumantha)  dulunya adalah   perajurit pajajaran,  lalu karta melanjutkan ceritanya, “ karena tuan belanda telah membawa saya ke wilayah bojong di jadikan pekerja paksa bersama pekerja yang lain untuk membuka lahan perkebunan karet, di wilayah bojong, kami sengaja lari dari camp tangsi belanda karena tidak mau mengikuti ajaran-ajaran tuan belanda itu, “aki jumantha juga sependapat dengan karta, aki memang dari dulu tinggal disini di lereng bukit hutan bambu sini karena menghindari dari orang-orang belanda itu yang telah membangun tangsi-tangsi di wilayah hutan bojong dan menyebarkan ajaranya  “Maaf bapak tidak sepaham dengan mereka Dengan belanda-belanda termasuk para mandor dan antek-anteknya itu, dan Sungai ciliwung itulah yang menjadikan  bapak betah tinggal diwilayah ini, ceritanya lereng bukit hutan bambu ini dulu  untuk perlindungan para perajurit pajajaran saat perang melawan  banten, perajurit pajajaran menamakan hutan bambu ini parung serab, sementara hutan di seberang sungai ciliwung dinamakan hutan parung malela, perajurit banten telah siaga di perbatasan hutan dan untuk mengumpulkan persenjataan perang di wilayah parung beji, begitulah cerita panjang lebar  ki jumantha menceritakan sejarah kampung parung serab atau kampung lereng bukit hutan bambu kepada karta.
            Di saat karta dan  pak  jumantha sedang asyik  mengobrol panjang lebar tiba-tiba anak gadisnya keluar dari dapur sambil membawa nampan dan berisi  makanan singkong dan ubi rebus makanan pokok hari-hari mereka, sambil mempersilahkan karta untuk menikmati makananya “ mangga kang di dahar, sambil senyum kearah karta, karta kaget ternyata pak jumantha mempunyai anak perempuan pikirnya, “itu anak  bapak satu-satunya, ibunya sudah meninggal beberapa tahun silam karena sakit, karta hanya bisa mengangguk-angguk serasa mengiyakan pembicaraan bapak  jumantha, “ terus nak karta rencananya mau kemana? “Entah.. pak? karena sudah jadi tekad  bulat saya untuk pergi menghindari orang-orang belanda itu niat saya, dan tidak mau mengikuti ajaran-ajaran tuan belanda itu, kami ingin menetap di kampung ini, kami ingin membantu bapak untuk mengelola sawah ladang di tempat bapak, kalo di-ijini, pak jumantha dengan senang hati  mendengar perkataan karta  karena inging membantu  “yaa…? kami sangat senang nak karta mau membantu kami, untuk sementara nak karta boleh tinggal disini, tapi maaf yaa.. gubuknya seperti ini keadaannya, mungkin  memang sudah jadi taqdirnya karta untuk  tinggal di daerah sini, di lereng bukit hutan bambu. Hari itu karta dan pak jumantha bercerita dan ngobrol panjang lebar. Pak jumantha sangat senang kehadiran karta di rumahnya, yang tadinya hanya mereka berdua sekarang bertiga dengan sukarta, karta sangat bersyukur bisa numpang di rumah pak jumanta.
            Ke-esokan harinya sebelum matahari terbit karta sudah  melankahkan kakinya menyusuri jalan setapak di samping gubuk pak jumantha  untuk menuju sawah ladang  pak  jumantha, mereka  sambil membawa cangkul, terlihat beberapa orang di  kampung situ juga sibuk menggarap sawah ladangnya masing-masing, karta dengan giatnya mencagkul tanah-tanah tersebut karena nantinya rencana pak jumantha akan di Tanami jagung, ubi dan singkong, ditanami palawija oleh pak jumantha,  karta memang orang yang pekerja keras, tenaga dan fisiknya  sangat kuat karena maklum mereka mantan orang-orang pekerja paksa, dulu sering digembleng fisiknya saat mereka ikut pekerja paksa di camp belanda,  tidak terasa matahari sudah siang sementara dari kejauhan terlihat pak  jumantha bersama anaknya si imah sedang menuju ketempat dimana karta mencangkul, si imah membawa keranjang jinjing berisi makanan dan sementara pak jumantha selalu membawa golok yang selalu diselipkan di pinggangnya setiap ke ladang,dengan pakaian pangsi hitam-hitam memakai ikat kepala dan ikat pinggan yang besar, berjalan dengan wibawanya menghampiri karta yang sedang mencagkul, dengan nada yang tegas  pada sukarta “karta, istirahat dulu,.. “iyaa pak, ? jawab karta sopan, lalu pak jumantha pergi untuk melihat-lihat di sekeliling kebonya, sementara si imah membawa makanan untuk  karta,” kang karta, istirahat dulu, sok dahar heula’ sambil senyumnya yang manis menatap ke arah  karta  “iyaa nyai… terimakasih? Jawab karta tersipu-sipu malu, perut karta sudah keroncongan karena dari pagi sewaktu berangkat belum ke isi makanan hanya sekedar  minum air  yang di taruh di kendi  yang diletakan  diatas meja,  rupanya diam-diam karta dan si imah sesekali curi pandang entah apa yang sedang berkecamuk di hati mereka berdua, yang pasti masing-masing sepertina ada hati, ada getaran cinta yang bersemi di hati mereka masing-masing, tapi saling bungkam belum berani mengatakan isi hatinya, setelah selesai makan karta melanjutkan pekerjaannya mencangkul, dan si imah setelah habis be-benah terus pamitan pulang, pada karta, “kang imah pulang dulu, “iyaa nyai ? terima kasih makananya, memang letak ladangnya tidak jauh dari rumahnya, sepeninggal imah dari tempat karta mencangkul,  karta sering berhenti saat mencangkul fikiranya tertuju pada imah anak gadis pak jumantha, kadang-kadang karta  melamun saat  kerja, setelah sore hari karta pulang ke tempat pak jumantha sambil memanggul cangkulnya, begitulah pekerjaan hari-hari karta untuk membantu pak jumantha.
            Hari-hari telah dilaluhinya tak terasa karta di kampung situ sudah ada tiga purnama (tiga bulan) lamanya, setiap malam bulan purnama tak lupa pak jumantha selalu mengajrkan keahlianya beladiri pencak silat kepada warga kampung lereng bukit hutan bambu, karena pencak silat adalah warisan budaya dari kakeknya turun-temurun, pak jumanta dulu ketika masih muda adalah pendekar dari lebak banten,mereka masih ada keturunan orang-orang kerajaan pakuan, suasana  ditempat latihan ada beberapa murid yang sedang giat berlatih,  tidak lupa karta juga ikut berlatih bersama pemuda sebayanya, begitu si imah anak pak jumantha juga ikut latihan  bersama  pemuda lainya, mereka belajar olah kanuragan pencak silat pada pak jumantha, ada  murid yang sudah lama belajar pada pak jumantha diantaranya   Marjuki teman-temanya memanggilnya   (bang majuk), dan juga sudirja panggilannya (jaja’), karena orang tuanya masih ada keturunan orang jawa mataram memanggilnya (jojo’) dan  Sukarta sendiri masih ada keturunan  suku bogis buton masa kecilnya dikampungnya sana sukarta di panggil daeng,  dan anak putrinya pak jumantha, nur imah (imah) dan pemuda lain sebayanya di kampung lereng  bukit hutan  bambu juga ikut latihan beladiri pencak silat dengan pak jumantha.
SUASANA DI PERKAMPUNGAN DESA BOJONG
            Sementara waktu, di sisi lain, di hutan bojong yang dulunya hutan belantara kini  sudah mulai  ramai telah menjadi desa  bojong setelah  tuan tuan belanda beserta para pekerja-pekerja paksa  membangun rumah-rumah belanda, tangsi dan  loji untuk balai pertemuan, serta membangun  gedung peribadatan untuk siar agamanya, gedung itu di beri nama “ De Eerste Protestante Organisatie Van Christenent “ orang belanda menyebutnya Depoch  (orang2 pribumi atau pekerja-pekerja itu menyebutnya Depok) serta mengelola  beberapa puluh hektar perkebunan karet,  dan di perbolehkan orang-orang pribumi menjual hasil sawah ladangnya dan palawija di lapak-lapak yang telah di beri patok oleh tuan demang bersama mandor-mandornya, Seiring dengan perkembangan jaman satu per-satu orang-orang tiongwa (china) dari pelabuhan sunda kelapa datang ke desa bojong, untuk berdagang, mereka membangun gubuk-gubuk  sementara untuk persinggahan, orang pribumi menyebutnya kampung pecinan atau pondok china. (sampai sekarang)
            Di lereng bukit hutan  bambu, atau hutan parung serab  yang letaknya di atas cadas rawa sungai cihaliwung, di sana pak jumantha dan orang-orang  kampung sedang sibuk melangsungkan hajatan acara pernikahan  Sukarta dengan nyi Imah putri pak jumantha, di rayakan dengan sangat  sederhana.
            Empat tahun kemudian isteri sukarta nyi imah baru hamil setelah perkawinannya dengan sukarta,  dan mereka  menempati gubuk dan tanah pemberian orang tuanya pak jumantha, yang letaknya di atas cadas rawa sungai cihaliwung,  mereka hidup rukun dan damai. Betapa bahagianya sukarta dan isterinya si imah, sekian lama menikah dan  telah di tunggu-tunggu akhirnya mengandung, karta sangat bahagia dan sayang pada isterinya sebaliknya si imah juga setia dan patuh pada suaminya, saat si imah isterinya  mengandung tiga bulan sering ngidam minta buah mangga muda, karta selalu menuruti permintaan isterinya si imah, pernah suatu saat si mah isterinya ingin sekali makan ikan dari sungai cihaliwung untuk lauk pauk, dengan setia karta menuruti keinginan isterina,
            Tengah hari bolong karta berjalan membawa jala menyusuri jalan setapak menuju rawa cadas sungai cihaliwung, sementara isterinya si imah menunggu di gubuk rumahnya sambil memasak ubi kesukaan karta, nyi imah di dapur memasak sambil menunggu suaminya datang membawa ikan segar yang di idam-idamkan, sampai sore karta belum datang, sampai malam suaminya karta juga belum pulang kerumahnya, nyi imah selalu memikirkan suaminya takut ada apa-apa, akhirnya nyi imah bertandang kerumah orang tuanya pak jumantha, nyi imah menceritakan bahwa suaminya karta tidak pulang-pulang semenjak mencari ikan di rawa cadas sungai cihaliwung, besok paginya pak jumantha dan orang-orang kampung dikerahkan untuk mencari karta di sekitar sungai tapi tidak diketemukan. Nyi imah sangat hawatir dengan suaminya, fikiran nyi imah selalu menduga-duga “apakah kang karta tenggelam di sungai cihaliwung, apa ditangkap oleh orang-orang belanda karena dulu pernah lari dari camp penampungan, dan dibawa ke tangsi belanda, apakah memang kang karta sudah tidak sayang lagi sama  imah atau mungkin sengaja meninggal kan imah karena imah mengandung ini atau memang lari dari tanggung jawab, fikiran si imah isterinya menduga-duga bermacam-macam hal, setelah sepeninggal karta yang tidak tahu keberadaannya  isterinya selalu berdo’a setiap hari setiap malam, nyi imah sementara tinggal di rumah pabaknya jumantha, karena ikatan bhatin isterinya  yang sangat kuat pada karta ditinggal selama tiga bulan nyi imah selalu sedih dan tidak bisa tidur selalu memikirkan karta, nyi imah seharian tidak makan tidak tidur mengurung dikamar selalu meminta kepada Yang Maha Kuasa agar suaminya cepet pulang,. Rupanya do’a dan tangisan si imah isterinya telah menggetarkan wilayah kampung lelembut sungai cihaliwung yang terkenal angker itu. Sampai tiga bulan lamanya karta menghilang dari kampung  lereng hutan bamu entah dimana keberadaanya, tidak ada yang tahu, menurut penglihatan mata bhatin ki jumantha si karta masih hidup di suatu tempat,
            Pagi-paginya karta ditemukan dipinggiran bibir rawa cungai cihaliwung dengan keadaan pingsan dan pakaiannya basah kuyup ditemukan  oleh orang-orang kampung bersama jalanya terlihat disisi tempat karta pingsan, lalu karta dipapah pulang kerumah oleh orang-orang kampung,  Setelah sadar karta kebingungan seperti orang linglung, banyak pertanyaan dari isterinya maupun dari mertuanya ki jumantha, lalu karta menceritakan telah terdampar masuk ke alam lelembut di sungai cihaliwung, katanya seharian masuk mengelilingi istana keraton kanjeng ratu, “kesana di bawa paksa oleh sepertinya punggawa keraton untuk menghadap kanjeng ratu kedalam istana,  (yang dimaksud kanjeng ratu siluman buaya putih) yang tempatnya di rawa di bawah pohon beringin yang besar sungai cihaliwung, panjang lebar karta cerita selama di alam lelembut seharian dalam ingatanya, padahal karta di alam lelembut sudah tiga bulan lamanya. Ternyata di alam gaib alam lelembut sana se-hari di alam kita tiga bulan lamanya, mungkin mahluk di alam lelembut itu umurnya sudah ratusan bahkan ribuan tahun,   (BERSAMBUNG )

hamster, guppy, freelance, indonesia, jual hamster, jual guppy, jual hewan, jual tikus, jual kandang,
-visit us: @Mr_ikky and Friends-
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar